Terdapat empat teori
perkembangan sosioemosi, yaitu : Teori Erikson, Teori Aktivitas, Teori
Selektivitas Sosioemosi, Teori Optimalisasi Selektif Melalui Kompensasi. (Santrock, 2011) dan (Berk, 2012)
1. Teori Erikson
Integritas versus
keputusan (integrity versus despair) adalah tahap kedelapan dan tahap akhir
perkembangan menurut Erikson, yang dialami individu di masa dewasa akhir. Tahap
ini melibatkan refleksi terhadap masa
lalu dan entah menyimpulkan secara positif pengalamannya atau menyimpulkan
bahwa kehidupannya belum dimanfaatkan secara baik. Melalui berbagai rute yang
berbeda, orang lanjut usia dapat mengembangkan sebuah pandangan yang posistif
mengenai setiap periode yang telah di lalui sebelumnya. Jika demikian, menengok
kembali dan perenungan retrospektif akan mengungkap gambaran tentang kehidupan
yang dilewati dengan baik dan orang dewasa lanjut usia akan merasa puas
(integritas). Tapi jika orang lanjut usia melalui satu atau lebih tahapan
sebelumnya secara negatif (misalnya terisolasi secara sosialdi masa dewasa awal
atau stagnan di masa dewasa menengah), lintasan kenangan tentang seluruh
hidupnya bisa menjadi hal yang negatif (keputusasaan).
Tinjauan Hidup. Tinjauan hidup
merupakan gagasan yang menonjol dalam tahap terakhir integritas versus
keputusasaan menurut Erikson. Melalui tinjauan hidup, seseorang meninjau
kembali pengalaman hidupnya di masa lampau, mengevaluasi, menginterpretasi, dan
sering kali mengintepretasikannya kembali (George, 2010; Robitaille dkk, 2010).
Seorang peneliti terkenal di bidang proses penuaan, Robert Buttler, berpendapat
bahwa “...terdapat kemungkinan untuk rasa sakit, amarah, rasa bersalah,
kesedihan, tapi juga ada kesempatan untuk resolusi dan perayaan, untuk afirmasi
dan harapan, untuk rekonsiliasi dan pertumbuhan pribadi”.
Butler
(2007) menyatakan bahwa tinjauan hidup dibuat dengan menanti kematian.
Kadangkala tinjauan hidup berlangsung secara tenang dan di saat lain
berlangsusng secara intens, yang menuntut usaha yang cukup besar untuk mencapai suatu penghayatan
mengenai tercapainya integrasi kepribadian. Pikiran-pikiran ini dapat terus
muncul dalam bentuk semburan yang munculsebentar-sebentar secara singkat atau
juga bisa terus-menerus. Seorang laki-laki berusia 76 tahun berkata “Hidupku
ada dalam benakku. Memang begitu harusnya. Ingatan masa lalu membayangi diriku.
Kadangkala aku bermain-main dengan ingatan itu, memperkuat dan menikmatinya;
namun di saat lain aku menolaknya”.
Tinjauan
hidup dapat mencakup dimensi-dimensi sisiobudaya, sperti budaya, etnisitas, dan
gender. Tinjauan hidup juga dapat melibatkan dimensi interpersonal atau relasi,
termasuk berbagi dan menjalin kekraban dengan anggota keluarga atau teman.
Disamping itu, tinjauan hidup dapat melibatkan dimensi pribadi, yang mungkin
melibatkan kreasi serta penemuan makna dan koherensi. Dimensi-dimensi pribadi
ini mungkin terkuak dengan suatu cara, dimana hal itu dapat atau tidak dapat di
pahami oelh orang lanjut usia tersebut. Analisis akhirnya, tinjauan hidup
setiap orang sampai taraf tertentu bersifat unik.
Ketika
berbagai ingatan mengenai masa lalu bermunculan, orang lanjut usia melakukan
survei, observasi, dan refleksi. Dari sini muncul berbagai pertimbangan kembali
terhadap pengalaman-pangalaman sebelumnya dan makna-makna yang menyertai,
sering kali di sertai dengan pemahaman yang telah direvisi atau di perluas.
Regorganisasi terhadap masa lalu dapat memberikan suatu gambaran yang lebih
tepat mengenai individu, memberikan makna yang baru dan berarti menyangkut
kehidupan seseorang. Dalam proses
mengurangi rasa takut, upaya ini juga dapat mempersiapakan individu
untuk menghadapi kematian. Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa satu aliran
tinjauan hidup “mencari makna” mengurangi simtom depresi orang dewasa paruh
baya dan lanjut usia (Pot&kawab-kawan,2010).
Satu aspek dari tinjauan hidup adalah
mengidentifikasi dan merefleksi tidak hanya aspek positif dari kehidupan
seseorang, tapi juga pada penyesalan sebagai bagian dari kedewasaan dan
pemahaman diri (Choi& Jun, 2009) Harapannya adalah dengan menelaah tidak
hanya aspek positif dari kehidupan sescorang, tapi juga apa yang disesali oleh
individu. visi yang lebih akurat tentang kerumitan hidup seseorang dan kemungkinan
peningkatan kepuasan hidup akan dapat dicapai (King &Hicks. 2007)
Berikut ini adalah
sampling studi terbaru tentang peniyesalan yang dimiliki orang dewasa lanjut
usia :
·
Bagi orang dewasa lanjut usia
berpenghasilan rendah, penyesalan terhadap pendimdikan, karier dan pernikahan
adalah hal yang lazim, tapi intensitas penyesalan lebih besar terhadap
finansial/uang, konilik keluarga dan masalah anak, kehilangan darn duka, serta
kesehatan (Choi& Jun, 2009). Indikasi yang umum dari harga diri mencakup
anak dan pengasuhan, karier, mengasuh sccara sukarela/informal, menjalani
pernikahan yang bertahan lama/kuat, dan pertumbuhan personal.
·
Membuat perbandingan sosial ke bawah,
seperti "Kondisi saya lebih baik dari kebanyakan orang," terkait
dengan penurunan intensitas penyesalan pada orangdewasa lanjut usia Bauer,
Wrosch, &Jobin, 2008)
·
Setelah kematian orang yang dicintai,
menyelesaikan penyesalan terkait depresi yang lebih rendah dan peningkatan
kondisi keberadaan. (Torges. Stewart & Nolen-Hoesksema, 2008). Dalam studi
ini, orang dewasa lanjut usia menyelesaikan penyesalan mereka dibandingkan
orang dewasa yang lebih muda
Beberapa terapis
menggunakan remiviscence therapy (terapi kenangan) ketika menangani orang-orang
lanjut usia. Terapi kenangan mencakup mendiskusikan aktivitas dan pengalaman di
masa lalu dengan individu atau kelompok lain (Peng & kawan-kawan, 2009).
Dalam terapi kenangan, terapis dapat menggunakan foto. barang-barang yang biasa
dikenal, dan rekaman video/audio. Beberapa peneliti memperlihatkan bah wa terapi
kenangan dapat memperbaiki suasana hati orang
orang lanjut usia (Fiske, Wetherell.
& Gatz, 2009). Faktanya, satu studi
tentang orang dewasa lanjut usia yang dilembagakan mengungkapkan bahwa terapi
ini dapat meningkatkan kepuasan hidup mereka dan menurunkan depresi dan rasa
kesepian mereka (Chiang &
kawan-kawan, 2010)
2. Teori Aktivitas
Teori aktivitas (activity theory) menyatakan bahwa pada orang
lanjut usia, semakin besar aktivitas dan keterlibatan mereka, semakin puas mereka terhadap
kehidupannya. Para peneliti telah menemukan dukungan yang kuat untuk teori
aktivitas, dimulai dari tahun 1960-an hingga memasuki abad ke-21 (Neugarten,
Havighurst. & Tobin.
1968, Riebe & kawan-kawan. 2005). Para peneliti menemukan bahwa apabila
orang lanjut usia itu aktil, lanjut usia semakin besar enerjik, dan produktif,
mereka akan lebith baik dalam menghadapi masa tua dan lebih semakin puas mereka
dengan bahagia dibandingkan apabila mereka dijauhkan dari masyarakat
Teori aktivitas
menyatakan bahwa banyak individu akan mencapai kepuasan hidup yang lebih besar
apabila mereka melanjutkan peran-peran di masa dewasa akhir. Apabila
peran-peran ini dihapuskan dari kehidupan mereka (seperti di awal pensiun),
mereka perlu menemukan peran peran pengganti yang dapat membuat mereka tetap
aktif dan terlibat.
3. Teori Selektivitas Sosioemosi
Teori selektivitas sosioemosional
(socioemotionalselectivity theory) menyatakan bahwa orang lanjut usia akan
lebih selektif dalam memilih jaringan kerja sosialnya. Karena mereka sangat
mementingkan kepuasan emosional, orang lanjut usia sering kali meluangkan lebih
banyak waktu bersama individu-individu yang sudah di kenal dan
menyenangkan.Teori yang dikembangkan oleh Laura Cartensen ini (1998, 2006,
2008), menyatakan bahwa orang-orang lanjut usia secara sengaja menarik diri
dari interaksi sosial dengan individu di sekeliling mereka, sementara mereka
mempertahanka atau meningkatkan kontak dengan teman-teman dekat dan
anggota-anggota keluarga dalam relasi yang menyenangkan. Pembatasan interaksi sosial
yang bersifat selektif ini dapat memaksimalkan pengalaman-pengalaman emosional
yang positif dan meminimalkan risiko-risiko emosional seiring dengan proses
menjadi tua.
Teori selektivitas
sosioemosi menantang stereotip yang menyatakan bahwa mayoritas orang-orang
lanjut usia itu berada dalam kondisi yang secara emosional putus asa akibat
isolasi sosial yang mereka alami (Charles &Carstensen, 2009, 2010; Scheibe
& Carstensen, 2010). Meskipun demikian, orang lajut usia secara sadar
memilih untuk mengurangi jumlah kontak sosialnya agar dapat meluangkan lebih
banyak waktu bersarma kawan-kawan dan keluarga yang dapat memberikan pengalaman
emosional yang menyenangkan. Dengan demikian, secara sistematis mereka mengasah
jaringan sosial mereka sehingga partner-partner sosial yang tersedia dapat
memuaskan kebutuhan emosional mereka.
Apakah terdapat hasil penelitian yang
memperlihatkanadanya perbedaan dukungan masa hidup dalam jaringan sosial?
Sebuah studi longitudinal mengungkapkan bahwa orang-orang lanjut usia cenderung
memiliki jaringan sosial yang lebih kecil dibandingkan orang-orang dewasa yang
lebih muda (Charles &Carstensen, 2010).
Dalam sebuah studi yang melibatkan individu-individu berusia 69 hingga
104 tahun, diketahui bahwa para partisipan yang paling tua memiliki kontak
sosial yang lebih sedikit dengan orang-orang di sekitarnya dibandingkan dengan
para partisipan yang lebih muda; namun jumlah relasi sosial yang karib di
antara kedua kelompok partisipan cenderung sama (Lang&Carstensen, 1994).
dalam studi lainnya, dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, orang
lanjut usia memiliki emosi positil paling intens terhadap anggota keluarga,
emosi positif yang tidak begitu intens terhadap teman-teman dekat, dan emosi
positif yang tidak intens terhadap teman-teman baru (Charles &Piazza, 2007)
Teori selektivitas
sosioemosi juga berfokus pada jenis-jenis tujuan yang dapat memotivasi individu
untuk meraihnya (Charles Carstensen, 2009, 2010). Teori ini menyatakan terdapat
dua jenis tujuan yang penting, yaitu : (1) yang berkaitan dengan pengetahuan,
dan (2) yang berkaitan dengan emosi. Teori ini menekankan bahwa motivasi untuk
memperoleh pengetahuan cenderung tinggi dan diawali di usia awal, mencapai
puncak di masa remaja dan masa dewasa, lalu kemudian menurun di masa dewasa
menengah dan dewasa akhir. Sementara emosi cenderung tinggi di masa bayi dan
masa kanak-kanak awal, menurun dari masa kanak pertengahan hingga masa dewasa
awal, dan kemudian meningkat di masa dewasa menengah dan masa dewasa akhir.
Salah satu alasan utama yang menyebabkan
perkembangan tujuan mengenai pengetahuan dan emosional ini mengalami perbahan
adalah persepsi terhadap waktu (Cartensen, 2006). Apabila individu memandang ia
masih memiliki banyak waktu, seperti ketika individu itu masih muda, ia akan
memiliki motivasi yang lebih kuat untuk mengejar informasi, meskipun harus
mengorbankan kepuasan emosional. Namun orang lanjut usia beranggapan waktu
hidup yang masih tersisa sudah tidak banyak lagi sehingga mereka termotivasi
untuk mengejar kepuasan emosional.
4. Teori Optimalisasi Selektif Melalui
Kompensasi
Teori optimalisasi selektif melalui
kompensasi (selective optimization compensation theery) adalah teori yang
menyatakan bahwa keberhasilan di usia lanjut berkaitan dengan tiga faktor
yaitu: selektif, optimalisasi, dan kompensasi (optmization, and
compensation/SoC). Teori ini mendeskripsikan bagaimana orang dapat menghasilkan
sumberdaya-sumberdaya baru dan mengalokasikannya secara efektif ke tugas-tugas
yang ingin mereka kuasai (Freud & Lamb, 2011 & Lindenberger, 2006:
Staudinger & Jacobs, 2011). Seleksi (selection) Didasarkan pada suatu
konsep bahwa kapasitas orang lanjut usia telah turun dan kehilangan kemampuan
untuk berfungsi, di mana hal ini mengakibatkan turunnya performa mereka di
berbagai bidang kehidupan. Optimalisasi (optimization) berarti dapat
mempertahankan performa di beberapa bidang, melalui praktik terus-menerus dan
penggunaan teknologi baru. Kompensasi (compensation) menjadi relevan apabila
tugas-tugas kehidupan menuntut kapasitas yang melampaui taraf performa saat ini
yang secara potensial dimiliki oleh orang lanjut usia. Secara khusus
orang-orang lanjut usia perlu melakukan kompensasi dalam lingkungan yang
mengandung tuntutan mental atau fisik yang tinggi, seperti ketika memikirkan
dan mengingat materi-materi baru secara sangat cepat, bereaksi secara cepat
ketika berkendara atau berlari cepat. Kebutuhan untuk melakukan kompensasi ini
menjadi jelas ketika orang lanjut usianmenderita sakit.
Teori optimalisasi
selektif melalui kompensasi diajukan oleh Paul Baltes dan rekan-rekannya
(Baltes, 2003, Baltes, Lindenberger Staudinger, 2006). Mercka mendeskripsikan
kehidupan di usia lanjut dari mendiang Arthur Rubenstein untuk mengilustrasikán
teori ini. Ketika diwawancarai di usiabahwa terdapat tiga faktor yang
memengaruhi kemampuannya mempertahankan status sebagai pianis konser yang
disegani hingga usia tua. Pertama, ia menguasai kelemahan usia lanjut dengan
mengurangi cakupan performanya dan memainkan karya-karya musik dalam jumlah yang
lebih sedikit (yang mencerminkan adanya seleksi). Kedua ia meluangkan lebih
banyak waktu untuk berlatih dibandingkan di masa sebelumnya (yang mencerminkan
optimalisasi). Ketiga, ia menggunakan strategimemperlambat permainannya sebelum
memasuki bagian yang cepat, sehingga membuat permainannya seolah-olah lebih
cepat (yang mencermikompensasi).
Proses optimalisasi
selektif dengan kompensasi cenderung akan menjadi efektif apabila orang
mengejar keberhasilan (Freund & Lamb, 2011: Staudinger & Jacobs, 2011)
Yang membuat SOC menarik bagi para ahli yang meneliti proses penuaan adalah SOS
dapat mengeksplisitkan bagaimana individu dapat mengelola dan beradaptasi
terhadap kermunduran. Dengan menggunakan SOS, mereka dapat melanjutkan
kehidupannya secara memuaskan, meskipun kini menjadi lebih terbatas. Kemunduran
merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari proses menjadi tua, meskipun
sifat-sifat dasar kemunduran ini dapat bervariasi. Karena adanya variasi
individual ini bentuk khusus dari seleksi,optimalisasi, dan kompensasi akan
cenderung bervariasi, tergantung pada sejarah hidup, pola minat, nilai-nilai,
kesehatan, keterampilan. Dan sumber daya seseorang.
Menurut Baltes (2003;
Baltes, Lindenberger &Staudinger, 2006), seleksi domain dan prioritas
kehidupan merupakan aspek penting dalam perkembangan. Tujuan hidup dan
prioritas bervariasi di sepanjang hidup sebagian besar manusia. Bagi beberapa
orang, prioritas itu bukanlah semata-mata pencapaian tujuan, namun pencapaian
tujuan yang berarti yang menjadikan hidupnya memuaskan
Dalam sebuah studi
lintas-budaya yang dilakukan oleh Ursula Staudinger (1996) investasi kehidupan pribadi dari
orang-orang yang berusia 25 hingga
105 tahun. Antara usia 25-34 tahun, para partisipan menyatakan bahwa secara
pribadi mereka lebih banyak menginvestasikan waktunya untuk pekerjaan,
kawan-kawan, keluarga, dan independensi. Antara usia 35-54 tahun dan 55-65
tahun, keluarga menjadi lebih penting dibandingkan kawan-kawan. Sedikit perbedaan
peringkat dengan orang yang berusia 70-84 tahun, antara usia 85-105 tahun
menjadikan kesehatan sebagai investasi pribadi terpenting. Memikirkan kehidupan
sebagai hal terpenting ditemui pada orang berusia 85-105 tahun.
Satu hal yang perlu diperhatikan mengenai studi tersebut adalah garis
batas dari masa lanjut usia untuk subkategori 70-84 tahun serta 85-105 tahun.
Hal ini sesuai dengan pendapat mengenai beberapa peristiwa, yakni bahwa
peneliti semakin mengakui pentingnya membandingkan orang tua dengan berbagai
usia, dan bukan mempelajarinya sebagai satu kelompok usia.
5.
Tugas Integritas Dari Ego Peck
Menurut Robert Peck (dalam Beck, 2012) pencapaian integritas ego
melibatkan 3 tugas khusus:
·
Diferensiasi
ego; bagi mereka (lansia) yang lebih banyak berinvestasi pada karir, mencari
cara-cara lain untuk menegaskan harga diri yaitu melalui keluarga,
persahabatan, daan kehidupan komunitas.
·
Transendasi
tubuh; mengatasi keterbatasan fisik dengan menekankan kompensasi balasan berupa
daya kogitif, emosional dan sosial.
·
Transendensi
ego; saat rekan sejaman meninggal dunia, menghadapi realitas kematian dengan
konstruktif melalui upaya menjadikan hidup lebih aman, bermakna dan bahagia
bagi generasi muda.
Penelitian mengungkapkan bahwa seiring bertambah lanjutnya usia lansia,
baik transendensi tubuh (focus pada kekuatan psikologis) dan transendensi ego
(orientasi pada masa depan dan lebih jauh) juga meningkat. Dalam sebuah
penelitian terhadap lansia wanita bahwa mengungkapkan mereka menerima perubahan
akibat penuaan, “mampu mengatasi ketakutan mereka akan kematian”, “memiliki
pemahaman lebih jelas akan arti kehidupan”, dan “menemukan gairah batin baru
dan positif untuk melakukan eksplorasi”.
6.
Keahlian Emosional Dari Labovie-Vief
Kompleksitas kognitif-afektif (kesadaran dan koordinasi perasaan positif
dan negative menjadi sebuah deskripsi diri yang rapi) meningkat dari masa
remaja hingga dewasa pertengahan, lalu menurun seiring semakin lemahnya
ketrampilan pengolahan informasi dasar dimasa dewasa akhir.
Akan tetapi para lansia memperlihatkan melakukan pengimbangan kekuatan
emosional. Merka memperbaiki pengoptimalan
perasaan yaitu kemampuan memaksimalkan emosi positif dan mengurangi emosi
negative, yang berperan oada daya tahan luar biasa mereka. Meskipun fisik
menurun, masalah keesehatan bertambah, masa depan semakin sempit dan
orang-orang terkasih meninggal dunia, kebanyakan lansia mampu mempertahankan
optimisme dan kesejahteraan psikologis mereka. Sekitar 30-40 % lansia tidak
hanya tinggi dalam pengoptimalan perasaan tetapi juga mengatasi kompleksitas kognitif-afektif-sebiah
perpaduan yang ada kaitannya dengan regulasi emosi diri yang sangat efektif.
Daya persepsi emosional orang dewasa itu membantu mereka memisahkan
penafsuran dari aspek-aspek objektif situasi. Akibatnya, strategi
penanggulangan mereka sering melibatkan upaya memastikan mereka paham betul
perasaan mereka sebelum memutuskan tindakan. Mereka juga mampu dengan baik
menggunakan strategi penanggulangan berpusat emosi (mengendalikan penderitaan
batin) dalam situasi-situasi negative (Blanchard-Fields, 2007 dalam Berk,
2012). Pendek kata, pencapaian psikososial penting di usia lanjut adalah
keahlian dalam merenungkan perasaan sendiri dan mengelola efek negative.
(Labovie-Vief & Diehl, 1999 dalam Berk, 2012).
B.
SPIRITUAL MASA DEWASA AKHIR (LANSIA)
Pertumbuhan
spiritual dan moral
Faktor yang dapat
dijadikan pedoman bahwa seseorang ini telah dewasa ialah dengan melihat dari
pertumbuhan spiritual dan moralnya. Kematanga spiritual dan moral bagi
seseorang yang mendorong dia untuk mengasihi dan melayani orang lainn dengan
baik. Oleh sebab itu, pertumbuhan ini harus telah dimulai sejak awal dan
dikembangkan untuk dapat mengahayati rahmat Allah Swt. Sehingga, dengan
demikian orang terseut dapat dikatakan sebagai orang yang pandai mensyukuri
nikmat-Nya. Seseorang
yang telah berkembang pertumbuhan moral dan spiritualya akan lebih pandai dan
lebih tenang dalam menghadapi berbagai kesulitan dan persoalan hidup yang
menimpa dirinya, sebab dengan demikian segalanya akan dipasrahkan kepada Allah
Yang Maha kuasa dengan disertai ikhtiar
menurut kemampuannya sendiri.
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa
dan Maha Pencipta. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan
Tuhannya dengan menggunakan instrument (medium), jika dalam Islam, sholat,
puasa, haji, doa, dll. (Hawari, 2002 dalam Noor)
Dewasa
akhir (40-65 tahun). Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan
untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi
ini sama baik dengan dimeni yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya
kebanyakan pada tahap ini kebutuhan spiritual meningkat (Hamid, 2000 dalam
Noor).
Lanjut usia
(65 tahun sampai meninggal). Pada tahap perkembangan ini, walaupun membayangkan
kematian mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena
mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagiaan dan rasa
berguna bagi orang lain. Bagi lansia yang agamanya kurang baik menunjukkan
tujuan hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan
dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak
takut mati dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas
terhadap kematian, maka kecemasan tersebut disebabkan oleh cemas pada prosesnya
bukan pada kematian itu sendiri. (Hamid, 2000 dalam Noor)