Sunday, May 27, 2018

Psikologi Perkembangan: Emosional Masa Dewasa Lanjut Usia (Lansia) dan Spiritual Masa Dewasa Akhir (Lansia)

A.    EMOSIONAL MASA DEWASA LANJUT USIA (LANSIA)

Terdapat empat teori perkembangan sosioemosi, yaitu : Teori Erikson, Teori Aktivitas, Teori Selektivitas Sosioemosi, Teori Optimalisasi Selektif Melalui Kompensasi. (Santrock, 2011) dan (Berk, 2012)
1.      Teori Erikson                       
Integritas versus keputusan (integrity versus despair) adalah tahap kedelapan dan tahap akhir perkembangan menurut Erikson, yang dialami individu di masa dewasa akhir. Tahap ini melibatkan refleksi  terhadap masa lalu dan entah menyimpulkan secara positif pengalamannya atau menyimpulkan bahwa kehidupannya belum dimanfaatkan secara baik. Melalui berbagai rute yang berbeda, orang lanjut usia dapat mengembangkan sebuah pandangan yang posistif mengenai setiap periode yang telah di lalui sebelumnya. Jika demikian, menengok kembali dan perenungan retrospektif akan mengungkap gambaran tentang kehidupan yang dilewati dengan baik dan orang dewasa lanjut usia akan merasa puas (integritas). Tapi jika orang lanjut usia melalui satu atau lebih tahapan sebelumnya secara negatif (misalnya terisolasi secara sosialdi masa dewasa awal atau stagnan di masa dewasa menengah), lintasan kenangan tentang seluruh hidupnya bisa menjadi hal yang negatif (keputusasaan).
Tinjauan Hidup. Tinjauan hidup merupakan gagasan yang menonjol dalam tahap terakhir integritas versus keputusasaan menurut Erikson. Melalui tinjauan hidup, seseorang meninjau kembali pengalaman hidupnya di masa lampau, mengevaluasi, menginterpretasi, dan sering kali mengintepretasikannya kembali (George, 2010; Robitaille dkk, 2010). Seorang peneliti terkenal di bidang proses penuaan, Robert Buttler, berpendapat bahwa “...terdapat kemungkinan untuk rasa sakit, amarah, rasa bersalah, kesedihan, tapi juga ada kesempatan untuk resolusi dan perayaan, untuk afirmasi dan harapan, untuk rekonsiliasi dan pertumbuhan pribadi”.
            Butler (2007) menyatakan bahwa tinjauan hidup dibuat dengan menanti kematian. Kadangkala tinjauan hidup berlangsung secara tenang dan di saat lain berlangsusng secara intens, yang menuntut usaha yang  cukup besar untuk mencapai suatu penghayatan mengenai tercapainya integrasi kepribadian. Pikiran-pikiran ini dapat terus muncul dalam bentuk semburan yang munculsebentar-sebentar secara singkat atau juga bisa terus-menerus. Seorang laki-laki berusia 76 tahun berkata “Hidupku ada dalam benakku. Memang begitu harusnya. Ingatan masa lalu membayangi diriku. Kadangkala aku bermain-main dengan ingatan itu, memperkuat dan menikmatinya; namun di saat lain aku menolaknya”.
            Tinjauan hidup dapat mencakup dimensi-dimensi sisiobudaya, sperti budaya, etnisitas, dan gender. Tinjauan hidup juga dapat melibatkan dimensi interpersonal atau relasi, termasuk berbagi dan menjalin kekraban dengan anggota keluarga atau teman. Disamping itu, tinjauan hidup dapat melibatkan dimensi pribadi, yang mungkin melibatkan kreasi serta penemuan makna dan koherensi. Dimensi-dimensi pribadi ini mungkin terkuak dengan suatu cara, dimana hal itu dapat atau tidak dapat di pahami oelh orang lanjut usia tersebut. Analisis akhirnya, tinjauan hidup setiap orang sampai taraf tertentu bersifat unik.
            Ketika berbagai ingatan mengenai masa lalu bermunculan, orang lanjut usia melakukan survei, observasi, dan refleksi. Dari sini muncul berbagai pertimbangan kembali terhadap pengalaman-pangalaman sebelumnya dan makna-makna yang menyertai, sering kali di sertai dengan pemahaman yang telah direvisi atau di perluas. Regorganisasi terhadap masa lalu dapat memberikan suatu gambaran yang lebih tepat mengenai individu, memberikan makna yang baru dan berarti menyangkut kehidupan seseorang. Dalam proses  mengurangi rasa takut, upaya ini juga dapat mempersiapakan individu untuk menghadapi kematian. Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa satu aliran tinjauan hidup “mencari makna” mengurangi simtom depresi orang dewasa paruh baya dan lanjut usia (Pot&kawab-kawan,2010).
Satu aspek dari tinjauan hidup adalah mengidentifikasi dan merefleksi tidak hanya aspek positif dari kehidupan seseorang, tapi juga pada penyesalan sebagai bagian dari kedewasaan dan pemahaman diri (Choi& Jun, 2009) Harapannya adalah dengan menelaah tidak hanya aspek positif dari kehidupan sescorang, tapi juga apa yang disesali oleh individu. visi yang lebih akurat tentang kerumitan hidup seseorang dan kemungkinan peningkatan kepuasan hidup akan dapat dicapai (King &Hicks. 2007)
Berikut ini adalah sampling studi terbaru tentang peniyesalan yang dimiliki orang dewasa lanjut usia :
·         Bagi orang dewasa lanjut usia berpenghasilan rendah, penyesalan terhadap pendimdikan, karier dan pernikahan adalah hal yang lazim, tapi intensitas penyesalan lebih besar terhadap finansial/uang, konilik keluarga dan masalah anak, kehilangan darn duka, serta kesehatan (Choi& Jun, 2009). Indikasi yang umum dari harga diri mencakup anak dan pengasuhan, karier, mengasuh sccara sukarela/informal, menjalani pernikahan yang bertahan lama/kuat, dan pertumbuhan personal.
·         Membuat perbandingan sosial ke bawah, seperti "Kondisi saya lebih baik dari kebanyakan orang," terkait dengan penurunan intensitas penyesalan pada orangdewasa lanjut usia Bauer, Wrosch, &Jobin, 2008)
·         Setelah kematian orang yang dicintai, menyelesaikan penyesalan terkait depresi yang lebih rendah dan peningkatan kondisi keberadaan. (Torges. Stewart & Nolen-Hoesksema, 2008). Dalam studi ini, orang dewasa lanjut usia menyelesaikan penyesalan mereka dibandingkan orang dewasa yang lebih muda
Beberapa terapis menggunakan remiviscence therapy (terapi kenangan) ketika menangani orang-orang lanjut usia. Terapi kenangan mencakup mendiskusikan aktivitas dan pengalaman di masa lalu dengan individu atau kelompok lain (Peng & kawan-kawan, 2009). Dalam terapi kenangan, terapis dapat menggunakan foto. barang-barang yang biasa dikenal, dan rekaman video/audio. Beberapa peneliti memperlihatkan bah wa terapi kenangan dapat memperbaiki suasana hati orang
orang lanjut usia (Fiske, Wetherell. & Gatz, 2009). Faktanya, satu studi tentang orang dewasa lanjut usia yang dilembagakan mengungkapkan bahwa terapi ini dapat meningkatkan kepuasan hidup mereka dan menurunkan depresi dan rasa kesepian mereka (Chiang & kawan-kawan, 2010)
2.      Teori Aktivitas          
Teori aktivitas (activity theory) menyatakan bahwa pada orang lanjut usia, semakin besar aktivitas dan keterlibatan  mereka, semakin puas mereka terhadap kehidupannya. Para peneliti telah menemukan dukungan yang kuat untuk teori aktivitas, dimulai dari tahun 1960-an hingga memasuki abad ke-21 (Neugarten, Havighurst. & Tobin. 1968, Riebe & kawan-kawan. 2005). Para peneliti menemukan bahwa apabila orang lanjut usia itu aktil, lanjut usia semakin besar enerjik, dan produktif, mereka akan lebith baik dalam menghadapi masa tua dan lebih semakin puas mereka dengan bahagia dibandingkan apabila mereka dijauhkan dari masyarakat
Teori aktivitas menyatakan bahwa banyak individu akan mencapai kepuasan hidup yang lebih besar apabila mereka melanjutkan peran-peran di masa dewasa akhir. Apabila peran-peran ini dihapuskan dari kehidupan mereka (seperti di awal pensiun), mereka perlu menemukan peran peran pengganti yang dapat membuat mereka tetap aktif dan terlibat.
3.      Teori Selektivitas Sosioemosi
Teori selektivitas sosioemosional (socioemotionalselectivity theory) menyatakan bahwa orang lanjut usia akan lebih selektif dalam memilih jaringan kerja sosialnya. Karena mereka sangat mementingkan kepuasan emosional, orang lanjut usia sering kali meluangkan lebih banyak waktu bersama individu-individu yang sudah di kenal dan menyenangkan.Teori yang dikembangkan oleh Laura Cartensen ini (1998, 2006, 2008), menyatakan bahwa orang-orang lanjut usia secara sengaja menarik diri dari interaksi sosial dengan individu di sekeliling mereka, sementara mereka mempertahanka atau meningkatkan kontak dengan teman-teman dekat dan anggota-anggota keluarga dalam relasi yang menyenangkan. Pembatasan interaksi sosial yang bersifat selektif ini dapat memaksimalkan pengalaman-pengalaman emosional yang positif dan meminimalkan risiko-risiko emosional seiring dengan proses menjadi tua.
Teori selektivitas sosioemosi menantang stereotip yang menyatakan bahwa mayoritas orang-orang lanjut usia itu berada dalam kondisi yang secara emosional putus asa akibat isolasi sosial yang mereka alami (Charles &Carstensen, 2009, 2010; Scheibe & Carstensen, 2010). Meskipun demikian, orang lajut usia secara sadar memilih untuk mengurangi jumlah kontak sosialnya agar dapat meluangkan lebih banyak waktu bersarma kawan-kawan dan keluarga yang dapat memberikan pengalaman emosional yang menyenangkan. Dengan demikian, secara sistematis mereka mengasah jaringan sosial mereka sehingga partner-partner sosial yang tersedia dapat memuaskan kebutuhan emosional mereka.
Apakah terdapat hasil penelitian yang memperlihatkanadanya perbedaan dukungan masa hidup dalam jaringan sosial? Sebuah studi longitudinal mengungkapkan bahwa orang-orang lanjut usia cenderung memiliki jaringan sosial yang lebih kecil dibandingkan orang-orang dewasa yang lebih muda (Charles &Carstensen, 2010).  Dalam sebuah studi yang melibatkan individu-individu berusia 69 hingga 104 tahun, diketahui bahwa para partisipan yang paling tua memiliki kontak sosial yang lebih sedikit dengan orang-orang di sekitarnya dibandingkan dengan para partisipan yang lebih muda; namun jumlah relasi sosial yang karib di antara kedua kelompok partisipan cenderung sama (Lang&Carstensen, 1994). dalam studi lainnya, dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, orang lanjut usia memiliki emosi positil paling intens terhadap anggota keluarga, emosi positif yang tidak begitu intens terhadap teman-teman dekat, dan emosi positif yang tidak intens terhadap teman-teman baru (Charles &Piazza, 2007)
Teori selektivitas sosioemosi juga berfokus pada jenis-jenis tujuan yang dapat memotivasi individu untuk meraihnya (Charles Carstensen, 2009, 2010). Teori ini menyatakan terdapat dua jenis tujuan yang penting, yaitu : (1) yang berkaitan dengan pengetahuan, dan (2) yang berkaitan dengan emosi. Teori ini menekankan bahwa motivasi untuk memperoleh pengetahuan cenderung tinggi dan diawali di usia awal, mencapai puncak di masa remaja dan masa dewasa, lalu kemudian menurun di masa dewasa menengah dan dewasa akhir. Sementara emosi cenderung tinggi di masa bayi dan masa kanak-kanak awal, menurun dari masa kanak pertengahan hingga masa dewasa awal, dan kemudian meningkat di masa dewasa menengah dan masa dewasa akhir.
Salah satu alasan utama yang menyebabkan perkembangan tujuan mengenai pengetahuan dan emosional ini mengalami perbahan adalah persepsi terhadap waktu (Cartensen, 2006). Apabila individu memandang ia masih memiliki banyak waktu, seperti ketika individu itu masih muda, ia akan memiliki motivasi yang lebih kuat untuk mengejar informasi, meskipun harus mengorbankan kepuasan emosional. Namun orang lanjut usia beranggapan waktu hidup yang masih tersisa sudah tidak banyak lagi sehingga mereka termotivasi untuk mengejar kepuasan emosional.
4.      Teori Optimalisasi Selektif Melalui Kompensasi               
Teori optimalisasi selektif melalui kompensasi (selective optimization compensation theery) adalah teori yang menyatakan bahwa keberhasilan di usia lanjut berkaitan dengan tiga faktor yaitu: selektif, optimalisasi, dan kompensasi (optmization, and compensation/SoC). Teori ini mendeskripsikan bagaimana orang dapat menghasilkan sumberdaya-sumberdaya baru dan mengalokasikannya secara efektif ke tugas-tugas yang ingin mereka kuasai (Freud & Lamb, 2011 & Lindenberger, 2006: Staudinger & Jacobs, 2011). Seleksi (selection) Didasarkan pada suatu konsep bahwa kapasitas orang lanjut usia telah turun dan kehilangan kemampuan untuk berfungsi, di mana hal ini mengakibatkan turunnya performa mereka di berbagai bidang kehidupan. Optimalisasi (optimization) berarti dapat mempertahankan performa di beberapa bidang, melalui praktik terus-menerus dan penggunaan teknologi baru. Kompensasi (compensation) menjadi relevan apabila tugas-tugas kehidupan menuntut kapasitas yang melampaui taraf performa saat ini yang secara potensial dimiliki oleh orang lanjut usia. Secara khusus orang-orang lanjut usia perlu melakukan kompensasi dalam lingkungan yang mengandung tuntutan mental atau fisik yang tinggi, seperti ketika memikirkan dan mengingat materi-materi baru secara sangat cepat, bereaksi secara cepat ketika berkendara atau berlari cepat. Kebutuhan untuk melakukan kompensasi ini menjadi jelas ketika orang lanjut usianmenderita sakit.
Teori optimalisasi selektif melalui kompensasi diajukan oleh Paul Baltes dan rekan-rekannya (Baltes, 2003, Baltes, Lindenberger Staudinger, 2006). Mercka mendeskripsikan kehidupan di usia lanjut dari mendiang Arthur Rubenstein untuk mengilustrasikán teori ini. Ketika diwawancarai di usiabahwa terdapat tiga faktor yang memengaruhi kemampuannya mempertahankan status sebagai pianis konser yang disegani hingga usia tua. Pertama, ia menguasai kelemahan usia lanjut dengan mengurangi cakupan performanya dan memainkan karya-karya musik dalam jumlah yang lebih sedikit (yang mencerminkan adanya seleksi). Kedua ia meluangkan lebih banyak waktu untuk berlatih dibandingkan di masa sebelumnya (yang mencerminkan optimalisasi). Ketiga, ia menggunakan strategimemperlambat permainannya sebelum memasuki bagian yang cepat, sehingga membuat permainannya seolah-olah lebih cepat (yang mencermikompensasi).
Proses optimalisasi selektif dengan kompensasi cenderung akan menjadi efektif apabila orang mengejar keberhasilan (Freund & Lamb, 2011: Staudinger & Jacobs, 2011) Yang membuat SOC menarik bagi para ahli yang meneliti proses penuaan adalah SOS dapat mengeksplisitkan bagaimana individu dapat mengelola dan beradaptasi terhadap kermunduran. Dengan menggunakan SOS, mereka dapat melanjutkan kehidupannya secara memuaskan, meskipun kini menjadi lebih terbatas. Kemunduran merupakan hal yang tidak dapat dilepaskan dari proses menjadi tua, meskipun sifat-sifat dasar kemunduran ini dapat bervariasi. Karena adanya variasi individual ini bentuk khusus dari seleksi,optimalisasi, dan kompensasi akan cenderung bervariasi, tergantung pada sejarah hidup, pola minat, nilai-nilai, kesehatan, keterampilan. Dan sumber daya seseorang.
Menurut Baltes (2003; Baltes, Lindenberger &Staudinger, 2006), seleksi domain dan prioritas kehidupan merupakan aspek penting dalam perkembangan. Tujuan hidup dan prioritas bervariasi di sepanjang hidup sebagian besar manusia. Bagi beberapa orang, prioritas itu bukanlah semata-mata pencapaian tujuan, namun pencapaian tujuan yang berarti yang menjadikan hidupnya memuaskan
Dalam sebuah studi lintas-budaya yang dilakukan oleh Ursula Staudinger (1996) investasi kehidupan pribadi dari orang-orang yang berusia 25 hingga 105 tahun. Antara usia 25-34 tahun, para partisipan menyatakan bahwa secara pribadi mereka lebih banyak menginvestasikan waktunya untuk pekerjaan, kawan-kawan, keluarga, dan independensi. Antara usia 35-54 tahun dan 55-65 tahun, keluarga menjadi lebih penting dibandingkan kawan-kawan. Sedikit perbedaan peringkat dengan orang yang berusia 70-84 tahun, antara usia 85-105 tahun menjadikan kesehatan sebagai investasi pribadi terpenting. Memikirkan kehidupan sebagai hal terpenting ditemui pada orang berusia 85-105 tahun.
Satu hal yang perlu diperhatikan mengenai studi tersebut adalah garis batas dari masa lanjut usia untuk subkategori 70-84 tahun serta 85-105 tahun. Hal ini sesuai dengan pendapat mengenai beberapa peristiwa, yakni bahwa peneliti semakin mengakui pentingnya membandingkan orang tua dengan berbagai usia, dan bukan mempelajarinya sebagai satu kelompok usia.
5.      Tugas Integritas Dari Ego Peck                  
Menurut Robert Peck (dalam Beck, 2012) pencapaian integritas ego melibatkan 3 tugas khusus:
·      Diferensiasi ego; bagi mereka (lansia) yang lebih banyak berinvestasi pada karir, mencari cara-cara lain untuk menegaskan harga diri yaitu melalui keluarga, persahabatan, daan kehidupan komunitas.
·      Transendasi tubuh; mengatasi keterbatasan fisik dengan menekankan kompensasi balasan berupa daya kogitif, emosional dan sosial.
·      Transendensi ego; saat rekan sejaman meninggal dunia, menghadapi realitas kematian dengan konstruktif melalui upaya menjadikan hidup lebih aman, bermakna dan bahagia bagi generasi muda.
Penelitian mengungkapkan bahwa seiring bertambah lanjutnya usia lansia, baik transendensi tubuh (focus pada kekuatan psikologis) dan transendensi ego (orientasi pada masa depan dan lebih jauh) juga meningkat. Dalam sebuah penelitian terhadap lansia wanita bahwa mengungkapkan mereka menerima perubahan akibat penuaan, “mampu mengatasi ketakutan mereka akan kematian”, “memiliki pemahaman lebih jelas akan arti kehidupan”, dan “menemukan gairah batin baru dan positif untuk melakukan eksplorasi”.
6.      Keahlian Emosional Dari Labovie-Vief                 
Kompleksitas kognitif-afektif (kesadaran dan koordinasi perasaan positif dan negative menjadi sebuah deskripsi diri yang rapi) meningkat dari masa remaja hingga dewasa pertengahan, lalu menurun seiring semakin lemahnya ketrampilan pengolahan informasi dasar dimasa dewasa akhir.
Akan tetapi para lansia memperlihatkan melakukan pengimbangan kekuatan emosional. Merka memperbaiki pengoptimalan perasaan yaitu kemampuan memaksimalkan emosi positif dan mengurangi emosi negative, yang berperan oada daya tahan luar biasa mereka. Meskipun fisik menurun, masalah keesehatan bertambah, masa depan semakin sempit dan orang-orang terkasih meninggal dunia, kebanyakan lansia mampu mempertahankan optimisme dan kesejahteraan psikologis mereka. Sekitar 30-40 % lansia tidak hanya tinggi dalam pengoptimalan perasaan tetapi juga mengatasi kompleksitas kognitif-afektif-sebiah perpaduan yang ada kaitannya dengan regulasi emosi diri yang sangat efektif.
Daya persepsi emosional orang dewasa itu membantu mereka memisahkan penafsuran dari aspek-aspek objektif situasi. Akibatnya, strategi penanggulangan mereka sering melibatkan upaya memastikan mereka paham betul perasaan mereka sebelum memutuskan tindakan. Mereka juga mampu dengan baik menggunakan strategi penanggulangan berpusat emosi (mengendalikan penderitaan batin) dalam situasi-situasi negative (Blanchard-Fields, 2007 dalam Berk, 2012). Pendek kata, pencapaian psikososial penting di usia lanjut adalah keahlian dalam merenungkan perasaan sendiri dan mengelola efek negative. (Labovie-Vief & Diehl, 1999 dalam Berk, 2012).
B.     SPIRITUAL MASA DEWASA AKHIR (LANSIA)       
Pertumbuhan spiritual dan moral
Faktor yang dapat dijadikan pedoman bahwa seseorang ini telah dewasa ialah dengan melihat dari pertumbuhan spiritual dan moralnya. Kematanga spiritual dan moral bagi seseorang yang mendorong dia untuk mengasihi dan melayani orang lainn dengan baik. Oleh sebab itu, pertumbuhan ini harus telah dimulai sejak awal dan dikembangkan untuk dapat mengahayati rahmat Allah Swt. Sehingga, dengan demikian orang terseut dapat dikatakan sebagai orang yang pandai mensyukuri nikmat-Nya. Seseorang yang telah berkembang pertumbuhan moral dan spiritualya akan lebih pandai dan lebih tenang dalam menghadapi berbagai kesulitan dan persoalan hidup yang menimpa dirinya, sebab dengan demikian segalanya akan dipasrahkan kepada Allah Yang Maha kuasa dengan disertai ikhtiar menurut kemampuannya sendiri.
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Spiritualitas mengandung pengertian hubungan manusia dengan Tuhannya dengan menggunakan instrument (medium), jika dalam Islam, sholat, puasa, haji, doa, dll. (Hawari, 2002 dalam Noor)
Dewasa akhir (40-65 tahun). Periode perkembangan spiritual pada tahap ini digunakan untuk instropeksi dan mengkaji kembali dimensi spiritual, kemampuan intraspeksi ini sama baik dengan dimeni yang lain dari diri individu tersebut. Biasanya kebanyakan pada tahap ini kebutuhan spiritual meningkat (Hamid, 2000 dalam Noor).
Lanjut usia (65 tahun sampai meninggal). Pada tahap perkembangan ini, walaupun membayangkan kematian mereka banyak menggeluti spiritual sebagai isu yang menarik, karena mereka melihat agama sebagai faktor yang mempengaruhi kebahagiaan dan rasa berguna bagi orang lain. Bagi lansia yang agamanya kurang baik menunjukkan tujuan hidup yang kurang, rasa tidak berharga, tidak dicintai, ketidakbebasan dan rasa takut mati. Sedangkan pada lansia yang spiritualnya baik ia tidak takut mati dan dapat lebih mampu untuk menerima kehidupan. Jika merasa cemas terhadap kematian, maka kecemasan tersebut disebabkan oleh cemas pada prosesnya bukan pada kematian itu sendiri. (Hamid, 2000 dalam Noor)